Monday, March 28, 2011

Tentang Gedung DPR

Baru saja, nonton berita di salah satu stasiun TV swasta, mengenai pembangunan gedung baru DPR. Issue ini pernah muncul pada tahun 2010 yang lalu, kalau saya tidak salah, namun akhirnya ditunda. Entah karena mereka wise enough untuk mendengarkan suara rakyat, orang yang seharusnya diwakilkan, atau hanya sekedar taktik. Nyatanya sekarang, toh issue ini muncul lagi ke permukaan.

Saya jadi teringat dengan salah satu topik mata kuliah saya tentang Responsibility Center. Intinya adalah, perusahaan harus menset divisinya menjadi responsibility center sesuai dengan objective dan performance evaluation yang akan diterapkan terhadap mereka. Pembagiannya dapat menjadi profit center, cost center ataupun investment center. Kalau kita ibaratkan Indonesia adalah sebuah perusahaan, kita bisa ibaratkan DPR sebagai salah satu divisinya. DPR jelas tidak bisa menghasilkan Rp bagi Indonesia, maka layak sekiranya kita masukkan sebagai cost center. Dimana sebagai cost center (discretionary cost center), divisi akan diberikan anggaran maksimal pengeluaran, dan anggaran tersebut akan menjadi salah satu acuan evaluasi performa. Jadi, andaikata realisasi pengeluarannya lebih banyak dari yang dianggarkan, berarti objective tidak tercapai dan divisi akan dapat rapot merah yang tentu berdampak pada reward dan punishment.

Andaikata kita terapkan DPR sebagai cost center, yang saya kira sudah berlaku, karena sudah dianggarkan oleh APBN, berarti akan ada batasan maksimal untuk pengeluaran DPR. Sayangnya, kebijakan anggaran di Indonesia kelihatannya sangat flexible. Anggaran terus direvisi sesuai keinginan anggota dewan. Padahal jika di perusahaan, kecuali terjadi situasi extreme misal inflasi melonjak berkali-kali lipat, kemungkinan revisi anggaran adalah kecil hingga tahun anggaran itu lewat. Revisi pun harus berdasarkan persetujuan top manager. Sayangnya lagi, sistem di Indonesia mengatakan bahwa APBN itu atas persetujuan DPR. Nah, disinilah conflict itu bisa terjadi.

Sekarang kalau kita lihat urgensi pembangunan gedung itu, dengan alasan kemiringan gedung DPR. Kalau saya yang jadi pemerintah, uang 1 T itu akan saya prioritaskan untuk perbaikan infrastruktur seperti misalnya jalan raya, atau mempercepat pembangunan monorail, dsb yang jelas lebih urgent dan lebih terkait dengan masyarakat umum. Saya rasa pemerintah bisa saja mengutus orang-orang kompeten untuk melakukan penelitian mengenai kemiringan gedung dan urgensi perbaikannya. Jangan diberikan pada orang dalam, untuk menghindari hal-hal yang tidak diiinginkan.

Satu lagi yang sebenarnya agak menggelitik bagi saya, DPR sangat mengharapkan adanya gedung baru karena katanya gedung yang sekarang juga sudah overcapacity. Padahal kalau kita ingat beberapa waktu yang lalu pernah ada berita seringnya DPR itu bolos rapat. Otomatis, ruangannya berarti kosong. Sekarang apa masih bisa kita katakan over capacity? Itu hanya masalah taktik saja saya rasa, bagaimana caranya memanfaatkan resources yang ada. Beberapa perusahaan multinasional bahkan memiliki kantor yang berkapasitas lebih kecil dari total karyawannya dan mereka memiliki program working from home yang merupakan win win solution bagi keduanya. Tentu saja karyawan perusahaan tersebut sangat disiplin dalam artian they will do their jobs done, bukan memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi.

Saya pernah membaca, kedepannya nanti satu orang anggota DPR akan memiliki lebih dari satu staf ahli. Kenapa harus per orang? Apa tidak mungkin ditugaskan saja untuk satu divisi staf ahli itu ditugaskan. Atau lebih masuk akal lagi, apa angggota DPR yang ada tidak bisa menjadi staf ahli bagi diri mereka sendiri. Ini yang mungkin harus dipertimbangkan ke depannya. Anggota DPR tidak hanya harus pintar berbicara, tapi bisa action, dan juga harus cerdas di bidangnya. Sehingga ke depannya fungsi staf ahli ini tidak lagi terlalu penting atau material. Ingat, mereka digaji mahal, bukan untuk memanfaatkan fasilitas saja, tapi untuk mencurahkan pikiran dan tenaga mereka untuk Indonesia yang lebih baik. Bukan untuk mencari BEP atas modal kampanye.


Terakhir, saya lagi-lagi tertawa melihat rusuhnya sidang DPR dimana seluruh anggota sidang dengan tidak tertibnya maju ke depan, mengacung-acungkan jari ke ketua sidang, berteriak-teriak, dsb. Sungguh mengingatkan saya dengan kerusuhan suporter bola atau kala mereka protes pada wasit. Atau kala orang-orang melakukan demonstrasi terhadap kebijakan DPR. Jadi, saya kira, DPR jangan berkomentar mengenai hal ini, mengenai sportifitas suporter olahraga atau kala mereka didemo. Rakyat hanya meniru, melihat yang Anda lakukan kala sidang. Saya ingat beberapa anggota DPR pernah studi banding ke luar negeri untuk belajar etika. Pertanyaan sekarang, apakah sudah ada perubahan?

No comments: