Saya dulu pernah bertugas di Libya. 'Gak lama sih, saya hanya bertahan beberapa bulan saja. Masalah kenapanya silakan cek postingan lama saya.
Pertama kali ke sana, saya terus terang gak banyak cek tentang pemerintahannya. Karena saya akan ditempatkan di dessert jadi pikir saya gak begitu penting deh bagaimana situasi kotanya. Namun ada beberapa hal yang saya ingat dari pengalaman saya yang singkat di sana:
- Parkirnya gile. Kalau parkir itu jarak antara satu mobil dan mobil yang lain amat sangat dekat. Tapi, supir2 di sana sungguh punya driving skill tingkat tinggi. Mereka gak butuh tukang parkir untuk markir atau ngeluarin mobil yang serba mepet kanan kiri, maju kena mundur kena. Saya selalu kagum kalau melihat cara mereka menyetir. Luar biasa.
- Little bit dangerous for woman, dalam artian, terutama kalau kamu foreigners, sangat tidak disarankan untuk pergi sendirian. Minimal ajak satu teman sama kamu. Yang saya perhatikan, pemuda2 di sana sering kongkow2 di jalanan. Naha kalau mereka liat cewek lewat, biasanya langsung disuit2, dipanggil2 (tentu aja pake bahasa sana). Itu yang kadang bikin kita gak nyaman. Mungkin karena cewek2 disana lebih banyak di rumah. Atau karena kita yang gak pakai full moslem dress. Kurang tau juga. Tadinya saya pikir kalau cuma disuit2 sih cuek aja, tapi ada cerita pengalaman teman yang pernah mengalami lebih dari itu. Jadi daripada bahaya, saya ngikutin aja anjuran untuk gak keluar sendiri.
- Most people there are lazy. Entah karena persaingan yang gak ketat atau pengaruh subsidi pemerintah. Yang pasti susah banget minta tolong di sana, even though it's actually their own duty. They always look for excuse to escape. Saya pikir ini terjadi cuma di kantor saya saja, tapi ternyata di kantor kakak saya (yang kebetulan juga punya cabang di Libya), they experienced the same thing. Saya ingat hari pertama saya datang ke camp, bawa koper super guede, gak ada satupun yang berinisiatif bantuin. Padahal saya datangnya gak sendiri, sama beberapa local people yang beberapa di antaranya juga sudah kenalan waktu nunggu pesawat. Satu lagi yang sebenarnya hampir mirip ma Indonesia, birokrasinya super lambat, mungkin ini pengaruh orang2nya yang pada malas.
- Presidennya super narsis. Gimana enggak, hampir di setiap belokan ada fotonya dia. Di kantor semua boss juga ada fotonya dia (heran tuh boss, knapa gak tarok foto diri sendiri aja ya? hehehe). Katanya sih itu kewajiban dari sananya. Di bandara kecil (transportasi dari dessert ke tripoli) fotonya pun juga harus ada. Saya yang tadinya gak tau, jadi hapal bener mukanya. Kaca mata itemnya itu yang suka gak nahan, hehehe.
Terlepas dari itu semua, Libya itu saya rasa cukup dekat hubungannya dengan Indonesia. They knew Soekarno, karena peranan beliau dalam KAA (GNB). Terus disana juga ada Jalan Bandung kalau gak salah. Orang Indonesia banyak yang do business di sana, Medco misalnya, atau beberapa perusahaan konstruksi. Pilot presiden di sana pun katanya orang Indonesia. Saya tau Indonesia juga menyewakan beberapa pesawat di sana karena saya pernah bertemu sendiri dengan pramugarinya.
Jadi, menurut saya, Indonesia seharusnya dengan tegas menyuarakan sikapnya. Kita suka mengirimkan pasukan Garuda kemana-mana, kenapa gak keliatan sikap kita sekarang terhadap Libya. Tinggal bilang kita mengecam sikap sekutu aja kan bisa. Ingat, kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Libya doesn't need outsider to solve their own problem. Gak perlu sekutu2 sok turun tangan dengan dalih menyelamatkan warga sipil dari pemerintahan Khadafi. Toh buktinya, korban sama2 jatuh dari yang pro maupun kontra Khadafi. Saya malah suspicious, karena yang menyerang negara2 pemegang hak veto yang gak banyak punya sumber minyak. Buktinya Rusia gak ikut2an tuh.
Sekutu sebenarnya bisa menunjukkan sikap dengan cara yang lebih elegan. Embargo misalnya. Secara juga sekarang demo dimana2, ekonomi Libya cukup jadi susah. Kalau ditambah embargo pasti tambah susah. Diharapkan presidennya terus akan menyerah dan akhirnya mundur. Negara2 dunia pun harus terus menyuarakan pendapatnya. Tapi gak usah pake angkat senjata.
Tentara sekutu yang dikirim ke sana pun sama menderitanya. Kalau mereka katakanlah meninggal disana, mereka bukan meninggal membela bangsanya. Because this is not war between Libya and western. This suppossed to be internal conflict. Sama seperti saat Indonesia berusaha menurunkan Soeharto. Korban jiwa pun pernah ada (ingat tragedi Trisakti). Soeharto pun pernah resist untuk mundur. Tapi toh akhirnya, kita berhasil melalui krisis ini. Gak perlu campur tangan pihak asing. Malah saat mereka campur tangan yang ada malah jadi lebih buruk, ingat kasusu Timor2 yang akhirnya malah lepas.
Saya juga punya kenangan manis di sana. Libya juga sebenarnya a peace country kok, terlepas dari situasi itu secara natural atau dipaksa terjadi. Banyak juga orang-orang baik di sana, termasuk teman2 seprofesi. In whatever way, saya berharap konflik Libya maupun negara lainnya cepat selesai. Sahabat kita sang anak menteng seharusnya masih ingat kata2nya saat pidato pelantikan, I will make moslem country as friend. Buktikan. Lets make this world a peace place. Say no to war!
No comments:
Post a Comment