Di twitter lagi rame tentang financial planner, split roles, dan hal-hal serupa.
Sekarang ini, uang sudah seperti gak ada harganya lagi, pegang 100 ribu habis, pegang 100 juta juga bisa habis. Gaji berapa aja gak pernah cukup, malah rasanya kuraaanggg terusss.
Waktu awal saya resign dan memutuskan kuliah dulu, semua orang pada heboh. Komentarnya kurang lebih sama, wah calon suaminya pasti super kaya. Jadi gak usah takut kekurangan.
Salah besar! Saya berani memutuskan seperti itu, tentu saja dari awal sudah saya hitung-hitung, dan tanpa memasukkan gaji suami dalam perhitungan saya. Kuncinya adalah disiplin. Gaji berapa saja, bonus berapa banyak, pengeluaran harus tetap sama. Jadi dari awal, sudah saya batasi, maksimal pengeluaran per bulan adalah sekian, sisanya masuk tabungan. Kalau kebetulan dapat rejeki nomplok, bonus lebih besar dari biasanya, berarti tabungan saya yang nambah, bukan pengeluaran yang nambah.
Namanya cewek, kadang gelap mata juga liat barang bagus. Nah, kalau ini terjadi, biasanya saya anggap sebagai 'hutang'. Jadi pengeluaran bulan berikutnya, harus saya kurangi, sampai 'hutang' tersebut ketutup.
Waktu nikah juga sama. Dari awal saya bilang sama suami saya, pengeluaran wajar per bulan itu segini. Dana darurat butuh segini. Tabungan minimal segini. Uang yang saya terima dari ngekost-in segini. Jadi kekurangannya segini. Tar kalau mau nambahin terserah. Transparan banget. Kaya semacam proposal lah, tapi gak resmi, coret-coretan aja. Saya juga tau besar gaji suami saya, jadi saya bisa kira-kira sendiri apakah 'proposal' yang saya ajukan masih wajar atau gak, bikin dia jatuh miskin apa gak, hehehe :).
Tugas saya, memastikan pengeluaran kita gak di luar apa yang sudah ditentukan dari awal. Suami aja sampai heran, waktu belum nikah dulu, gajian berapapun, uangnya pasti habis. Uang tabungan dia segitu-segitu aja gak nambah-nambah. Padahal waktu awal nikah, gajinya ya sama aja sama jaman dia bujangan. Waktu nikah, meski teorinya semakin banyak pengeluaran, malah bisa nabung.
Saya berusaha meng-cover sendiri untuk non-daily needed. Belanja baju misalnya, atau sekedar beli film atau novel. Kalau kebetulan jalan sama suami, kadang dia berbaik hati bayarin. Kadang juga saya yang bayarin kalau pas beli buku bareng-bareng. Asyik-asyik aja, toh masing-masing punya simpanan sendiri. Selama tabungan bersama atau dana operasional gak dikutak-katik, biar gak mencla mencle penggunaannya. Kecuali kalau ke supermarket bareng buat belanja bulanan, ini 100% tanggung jawab saya, kan sudah ada posnya.
Gak gampang untuk menghadapi godaan menggunakan uang tabungan. Trik saya, jangan bikin ATM untuk tabungan dana darurat. Jadi gak gampang kegoda untuk main narik-narik sembarangan. Terus tagihan kartu kredit selalu dibayar lunas, supaya terhindar dari kewajiban bayar bunga.
Menjadi disiplin bukan berarti bikin kita lebih miskin. Gak perlu kok sampai hemat yang super ekstrim gitu. Yang penting, saat perancangannya, dihitung secara wajar. Gak usah terlalu hemat tapi juga gak berlebihan. Kalau ini bisa dilaksanakan, percaya deh, senyum-senyum liat saldo tabungan gak cuma pas awal bulan abis gajian, tapi kapan saja.
Disiplin bukan cuma dari sang istri mengelola uang. Tapi juga dari suami waktu abis gajian. Setor tepat waktu, minimal seperti yang sudah disepakati. Para suami jangan berpikir kalau istri cuma ngabisin gaji suami aja. Malah, secara gak langsung, istri sudah membantu suami mengelola dan menabung uang gajinya.
Do it now. Plan your expenses. Kalaupun anda adalah impulsive buyer seperti saya, paling enggak harus mengerti bahwa konsekuensinya akan dirasa pada bulan-bulan berikutnya, hehehe.
No comments:
Post a Comment