This was actually the story of my best friend. Anak perempuan tertua di keluarga, umur hampir kepala tiga, dan masih jomblo. Meski kadang saya ‘gak ngerti kenapa cowok-cowok pada buta dan membiarken cewek almost perfect kaya dia menjomblo. Singkat cerita, ibunda teman saya ini beserta kroninya (maksudnya om tante pakde bude bahkan para sepupu) langsung bersiasat mencarikan jodoh buat teman saya. Mulai dari duda kaya beranak dua, duda tanpa anak, jomblo seumuran, sampe jomblo di bawah umur, semua ditawarin. Temen saya ini sampai kehabisan akal gimana caranya menolak, soalnya semua anggota keluarga berkomplot, padahal yang ditawarkan itu spesies yang ajaib-ajaib. Segitu hopeless-kah dia?!?! Kalau ditolak, kadang-kadang dibalas dengan pribasa Jawa yang intinya cinta itu nanti toh bisa hadir juga kalau sering sama-sama, sudah terbiasa. Begitulah.
Sampai suatu hari, teman saya ini berkesempatan mampir ke Jogja dan menginap di rumah saya. Lama gak ketemu apalagi tidur bareng (ups), buanyak banget yang kita ceritakan satu sama lain. Dia bercerita tentang kehidupan sehari-harinya, keruwetan pekerjaannya, dan tentu saja dilema yang dia hadapi akan permintaan sang mama. Sementara saya, yah gak jauh-jauh ceritanya tentang kehidupan perkuliahan dan perkawinan saya.
Beberapa hari setelah dia kembali ke Jakarta, kami chatting. Dia bercerita bahwa sekarang keluarganya sudah berhenti berperan sebagai biro jodoh. Wow. Apa rahasianya? Ternyata, sesudah kunjungannya ke Jogja, dia bercerita pada mamanya.
“Mam, di Jogja kemarin, pertama kalinya aku bisa ngeliat Rina bareng sama mas Tunggul sesudah mereka nikah. Biasanya kan kalau pulang ke Jakarta ketemuan sama aku, Rina selalu sendiri. Aku bisa liat, Rina tuh bahagia banget sama mas Tunggul dan sebaliknya, itu tuh keliatan banget. Tapi waktu aku cerita-cerita sama Rina, kehidupan perkawinannya juga bukannya gak ada masalah. Kadang ada berantem-berantem kecil, masalah-masalah yang mungkin sepele, mungkin juga prinsipil. Mami sama Papi juga dulu pasti pernah gitu kan, namanya juga menyatukan dua kepala. Tapi karena mereka saling cinta, hal-hal seperti itu akhirnya bisa diatasi. Karena ada hal yang bisa dipertahankan. Aku tuh pengennya kaya gitu, Mi. Coba kalau sudah nikahnya gak karena cinta, terus berantem-berantem, ada masalah. Belum punya anak juga. Apa lagi yang menguatkan untuk tetap bertahan? Sama kaya Mami, aku juga maunya nikah itu sekali, sampai maut yang memisahkan.”
Dan begitulah. Sang ibunda berhenti mengenalkan bermacam-macam spesies cowok ke temen saya.
(With a little bit adjustment, based on her story)
No comments:
Post a Comment